Mitigasi Kebocoran Pajak Air Tanah dalam Perspektif Peningkatan Kemandirian Fiskal Daerah: Studi PAD Kota Surabaya Tahun 2019-2024

 

foto : ilustrasi tax PAT 


Surabaya merupakan kota metropolitan sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya memiliki resources fiskal yang cukup tinggi. Potensi pendapatan asli daerah (PAD) berasal dari berbagai sektor: pajak daerah, retribusi, pengelolaan kekayaan daerah, hingga lain-lain PAD yang sah. Pajak daerah, khususnya Pajak Air Tanah (PAT), menjadi salah satu instrumen penting dalam menjaga kemandirian fiskal daerah. Namun, faktanya kota metropolitan tidak sepenuhnya menggali pos-pos penerimaan regional. Hal ini dibuktikan adanya ketidaksesuaian antara volume air yang digunakan dan tarif PAT.

PAT merupakan salah satu komponen Pajak Daerah yang berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dasar pengenaan PAT adalah Nilai Perolehan Air Tanah (NPA), yang dihitung dari volume pengambilan air tanah dikalikan dengan Harga Dasar Air (HDA), lalu dikalikan dengan tarif pajak. Tarif maksimum sesuai regulasi nasional adalah 20%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 

Namun faktanya, kota Surabaya tidak mematuhi PAT yang diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 33 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan dari Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sehingga, terdapat permasalahan ketidaksesuaian volume penggunaan air tanah dan tarif pajak yang berlaku. Hal ini menyebabkan kehilangan potensi penerimaan fiskal daerah dari sektor pajak daerah.

Diera desentralisasi dan otonomi daerah menjadi tantangan bagi setiap daerah untuk memanfaatkan peluang kewenangan yang diperoleh, serta tantangan untuk menggali potensi daerah yang dimiliki guna mendukung kemampuan keuangan daerah sebagai modal pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintah di daerah. PAD merupakan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah dalam mengatasi persoalan keuangan daerah tersebut salah satu kebijaksanaan pemerintah daerah adalah meningkatkan PAD. Tingginya pajak dan retribusi maka akan meningkatkan PAD, sehingga pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber PAD, dan mengoptimalkan PAD khususnya yang berasal dari pajak dan retribusi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah melalui PAD (Wenur, 2013). 

Menurut UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) menegaskan pentingnya optimalisasi PAD melalui pajak daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (dividen BUMD). Dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, daerah berhak atas hasil pengelolaan kekayaan daerah dan kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi daerah. Sedangkan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menekankan kontribusi BUMD terhadap PAD melalui dividen dan pajak.

Pajak Air Tanah (PAT) merupakan salah satu jenis pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta diperkuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). 

Secara konseptual, PAT dikenakan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh orang pribadi maupun badan usaha. Dasar pengenaannya adalah nilai perolehan air tanah (NPA), sedangkan tarif maksimal yang dapat ditetapkan daerah adalah 20% dari NPA, disesuaikan melalui peraturan daerah.

Pajak air tanah memberikan kontribusi nyata terhadap PAD, meskipun proporsinya lebih kecil dibandingkan pajak daerah lainnya (seperti PBB atau pajak hiburan). Penerimaan ini penting untuk mendukung pembiayaan pembangunan daerah, terutama di kota besar seperti Surabaya yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi dan pemanfaatan air tanah yang luas. PAT berfungsi sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mengendalikan penggunaan air tanah. Dengan tarif tertentu, pemerintah daerah dapat membatasi eksploitasi berlebih yang berpotensi menimbulkan penurunan muka air tanah, intrusi air laut, maupun kerusakan lingkungan. Dengan adanya pajak, pemanfaatan air tanah oleh pihak swasta dan industri yang mengambil manfaat ekonomi dari sumber daya publik dikenai kewajiban finansial yang kembali untuk kepentingan masyarakat luas.

Kontribusi PAT terhadap Fiskal Pajak Daerah Kota Surabaya 2019-2024

Sumber: data analisa olahan menggunakan realisasi penerimaan PAT dan Regional Tax kota Surabaya 2019-2024.
Secara normatif, PAT memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai instrumen fiskal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagai instrumen regulatif dalam menjaga kelestarian sumber daya air tanah. Namun, berdasarkan data penerimaan Kota Surabaya tahun 2019–2024, kontribusi PAT terhadap total Pajak Daerah menunjukkan tren yang sangat rendah, yaitu hanya berkisar 0,028%–0,043%. Rendahnya kontribusi ini mencerminkan adanya kesenjangan antara potensi fiskal dan realisasi penerimaan. Surabaya sebagai kota metropolitan dengan aktivitas ekonomi yang padat (industri, jasa, perhotelan, dan rumah tangga skala besar) seharusnya memiliki potensi pemanfaatan air tanah yang signifikan, sehingga penerimaan PAT mestinya lebih besar.
Sumber: data analisa olahan kontribusi PAT kota Surabaya 2019-2024.

Implikasi fiskal dari kondisi ini adalah terbatasnya kontribusi PAT terhadap PAD Kota Surabaya, sehingga fungsi diversifikasi sumber pendapatan daerah tidak tercapai secara optimal. Selain itu, implikasi ekologis juga perlu diperhatikan, mengingat eksploitasi air tanah yang tidak terkendali dapat menimbulkan risiko penurunan muka tanah, intrusi air laut, serta kerusakan ekosistem perkotaan. Permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pendataan potensi air tanah dan wajib pajak belum sepenuhnya valid, sehingga target penerimaan PAT lebih banyak didasarkan pada capaian tahun sebelumnya, bukan pada basis data potensi riil. Kedua, lemahnya regulasi daerah dan implementasinya membuat kebocoran penerimaan masih sering terjadi, misalnya melalui pelaporan volume pengambilan air yang tidak akurat. Ketiga, tarif PAT relatif rendah serta belum mencerminkan nilai ekonomi dan dampak lingkungan dari eksploitasi air tanah.

Pertumbuhan PAT Kota Surabaya 2019-2024

Sumber: data olahan menggunakan LRA dan LKPD Kota Surabaya Tahun 2019-2025.

Lebih rinci mengenai Pertumbuhan PAT kota Surabaya tahun 2019-2024, berdasarkan tabel diatas yang telah diinterpretasikan menggunakan laporan realiasasi penerimaan PAD kota Surabaya, grafik menunjukkan fluktuasi pertumbuhan PAT 2019–2024 dengan pola menurun tajam pada awal pandemi, perlahan pulih, sempat fluktuatif, dan akhirnya melonjak positif di tahun 2024. Pertumbuhan positif tahun 2024 menunjukkan adanya potensi besar PAT sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun keberlanjutannya akan sangat bergantung pada konsistensi pengawasan, penegakan hukum, dan kesadaran wajib pajak. Surabaya sebagai kota metropolitan memiliki demand air tanah yang tinggi, sehingga pengelolaan pajak air tanah harus memperhatikan aspek fiskal dan lingkungan. 

Pertumbuhan PAT Kota Surabaya 2020-2024.

• 2020 (-9.62%)

• 2021 (-4.33%)

• 2022 (-2.37%)

• 2023 (-4.11%)

• 2024 (11.01%)

Perbandingan Target PAT dan Realisasi hingga Potensial Resource PAT kota Surabaya Tahun 2024

Sumber: data analisa yang diinterpretasikan menggunakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Jawa Timur 2024.

Capaian realisasi yang melampaui target memperlihatkan kinerja baik dalam pemungutan pajak daerah. Namun, terdapat potensi kehilangan PAT sebesar Rp 82,3 juta, hal ini menunjukkan adanya potensi penerimaan yang tidak optimal. Diantara faktor penyebabnya adalah:

  1. Penggunaan air tanah tanpa izin resmi.
  2. Ketidaktepatan pencatatan volume penggunaan air.
  3. Ketidakpatuhan wajib pajak dalam pelaporan.
  4. Keterbatasan pengawasan di lapangan oleh Bapenda.
  5. Kurangnya penyesuaian tarif yang sesuai dengan regulasi terbaru Perwali kota Surabaya No. 33 Tahun 2024.

Menurut Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB), tentang Bab III Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Pasal 127);

1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan: 

a. surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g. 

b. SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.

2) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.

Menurut Peraturan Walikota (Perwali) No. 33 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Bidang Pajak Daerah Pasal 8; 

12) Nilai Perolehan Air Tanah dihitung dari hasil perkalian antara Volume Pengambilan Air Tanah dikalikan Harga Dasar Air. 

13) Volume pengambilan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dibedakan berdasarkan progresif jumlah kubikasi Air Tanah yang dimanfaatkan setiap bulan. 

14) Jumlah kubikasi Air Tanah secara progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (13) digolongkan sebagai berikut: a. 0 sampai dengan 50 m³; b. 51 sampai dengan 500 m³; c. 501 sampai dengan 1000 m³; d. 1001 sampai dengan 2500 m³; dan e. lebih dari 2500 m³. 

15) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah contoh perhitungan tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.

Pengelolaan Pajak Air Tanah (PAT) di Kota Surabaya pada periode 2019–2024 menunjukkan adanya keterbatasan dalam mekanisme penetapan target. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya cenderung hanya mengacu pada target pajak air tanah tahun sebelumnya tanpa melakukan perhitungan berbasis data valid mengenai sumber potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kondisi ini mengindikasikan bahwa proses perencanaan fiskal masih bersifat incremental budgeting, bukan berbasis potensi riil sumber daya.

Selain itu, Pemkot Surabaya belum sepenuhnya mengacu pada regulasi yang berlaku, seperti Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Pajak Daerah serta ketentuan teknis dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah. Minimnya sinkronisasi dengan regulasi menyebabkan kelemahan dalam validasi data wajib pajak maupun penetapan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD).

Akibatnya, praktik di lapangan menunjukkan adanya kebocoran pajak, di mana SKPD yang diterbitkan tidak sepenuhnya mencerminkan realisasi pemakaian air tanah oleh wajib pajak. Hal ini berimplikasi pada tidak optimalnya kontribusi PAT terhadap PAD Surabaya, serta menimbulkan risiko fiskal berupa hilangnya potensi penerimaan daerah yang seharusnya dapat memperkuat kemandirian fiskal daerah.

Referensi 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). 

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2023 Bidang Pajak Daerah.